Sebaran Ideologi Kekerasan

Uptodown-id - Sebaran Ideologi Kekerasan

November 29, 2016 at 08:16PM

@satria_piningit wrote:

Jakarta - Apa yang menyebabkan Juhanda, lelaki Sunda itu tega
melempar bom rakitan ke sebuah tempat suci umat Kristiani di Samarinda?
Apa yang mendorong Afif alias Sunakim menyalakkan senapan di depan kedai
kopi Starbucks di Jl MH Thamrin awal tahun 2016 ini?

Mengurai akar penyebab aksi terorisme itu sangatlah sulit. Namun, paling tidak ada dua cara pandang.

Yang
pertama disebut dengan pendekatan strukturalis. Bagi pengusung
pendekatan ini, aksi terorisme itu adalah bentuk reaksi dari sebuah
kelompok yang terpinggirkan untuk melawan sebuah kelompok yang mereka
bayangkan menindas diri mereka.

Dalam kasus radikalisasi di
Prancis, ilmuwan sosial Prancis, Giles Kepel melihat faktor ekonomi,
sosial dan marjinalisasi kaum imigran dan anti Islamlah yang menjadi
pemantik utama rasa kekecewaan yang berakhir pada sikap militansi.

Namun
jika cara pandang ini yang dipakai di Indonesia, kenapa hanya ada
segelintir orang seperti Juhanda dan Afif saja yang menjadi teroris?
Padahal ada ribuan orang merasakan hal yang sama? Apakah mereka yang
termarjinalkan itu seperti 'daun kering' yang mudah disapu oleh 'angin'
dan kemudian jika tergesek sedikit saja mereka akan terbakar?

Oleh
karena itu, pandangan pertama itu ditolak oleh Oliver Roy yang juga
ilmuwan sosial Prancis. Pandangan kedua yang diwakili Roy ini percaya
bahwa terorisme merupakan sebuah kasus individual yang sangat spesifik.
Biasanya, dimulai dari proses pelepasan diri individu dari kelompok
besar yang menjadi arus utama.

Di Indonesia, maka kelompok besar
itu bisa seperti NU, Muhammadiyah. Bagi Roy, individu yang tidak
terwadahi oleh organisasi ini, akan mencari atau membentuk kelompok
sendiri yang lebih kecil. Di sinilah mereka merasa terwadahi. Oleh
karena itu, dalam kaca mata Roy, melihat nilai-nilai yang diyakini,
"titik balik" kehidupan pribadi dan juga kondisi psikologis pelaku itu
jauh lebih penting.

Melihat kasus terorisme yang muncul di
Indonesia, kedua faktor "struktural" dan "individual" ini tidaklah
berdiri sendiri. Kedua faktor ini bekerja dengan baik apabila diikat
oleh sebuah ideologi atau keyakinan para pelaku. Ideologi inilah yang
menjadi cara pandang melihat dunia, tata nilai dan bahkan arahan gerak
mereka.

Namun, ratusan individu yang kemudian menjadi pelaku
terorisme di Indonesia itu, lebih dari 70% nya bergabung ke kelompok
kekerasan bukan karena pesona ideologi kelompok ini. Mereka terseret ke
dunia kekerasan ini lebih karena jaringan sosial seperti hubungan
pertemanan, guru-murid, anak-bapak, suami-istri, paman-keponakan, dan
hubungan kekerabatan lainnya.

Dalam kultur masyarakat Indonesia
yang unsur "pakewuh" atau "merasa tidak enak hati" masih sangat kuat,
maka seringkali individu ini menjadi sosok yang lemah ketika berhadap
dengan sosok yang mempunyai posisi sosial yang lebih tinggi. Pada saat
itu, biasanya individu tidak mampu lagi berpikir kritis karena adanya
tekanan kelompok sosial ini. Apalagi jika mereka telah diikat dalam
persaudaaran ideologi yang sama dengan doktrin: "sami'na wa atho'na"
(saya mendengar dan saya akan taat) .

Misalnya sosok Setiawan,
seorang mantan narapidana terorisme dari Semarang. Semua stereotype
sempit yang sering dilabelkan kepada kelompok ini seperti berjanggut dan
celana cingkrang tidak ada pada dirinya. Ia sangat sopan dan sarjana
ekonomi UNDIP. Bahkan, salah satu keluarga dekatnya, sekarang menjadi
salah satu menteri di kabinet Jokowi.

Namun, karena dia diminta
tolong oleh ustad pengajiannya untuk menjemput tamu, ia tidak bisa
menolak. Sang tamu kemudian menginap di rumahnya lima hari. Ia baru tahu
siapa identitas tamu sebenarnya adalah Noordin M Top, setelah ia
dicokok oleh Densus 88 ketika ia ikut rapat 17 Agustusan di kampungnya.
Ironisnya, Setiawan baru paham ideologi kelompok ini justru ketika ia di
dalam penjara!

Menurut Setiawan, paling tidak, ada 3 ciri utama pendukung ideologi kekerasaan ini.

Pertama.
Mereka seolah-olah menjadi "panitia masuk surga". Dengan mudah mereka
akan mengkafirkan orang lain. Untuk tujuan ini, memakai teks agama
secara sepotong-potong yang disesuaikan dengan ideologi mereka.

Kedua.
Mereka menjadi fanatik dan menutup diri. Oleh karena itu, merekapun
tidak menerima perbedaan dalam cara memahami teks agama yang ada.
Padahal fakta di lapangan, dalam pemahaman fiqihpun ada berbagai macam
mazhab seperti Hambali, Syafii, Maliki dan lain-lain.

Ketiga.
Mereka ingin ada perubahan yang revolusioner yaitu mengganti sistem
pemerintah yang sekuler menjadi, yang menurut mereka, lebih Islami.
Untuk mencapai hal ini, mereka tidak enggan memakai kekerasan.

Untuk
memutus 'oksigen' hidup kelompok ini tidaklah mudah. Karena bagi
masyarakat tertentu, para pelaku ini masih sering disebut sebagai
"mujahid". Apalagi beberapa media masih terus menganggap setiap aksi
kekerasan yang dilakukan oleh kelompok ini sebagai rekayasa dan
pengalihan isu (padahal korbannya benar-benar ada).

Oleh karena
itu, sudah saatnya negara untuk tidak hanya menekankan pendekatan
keamanan dan masyarakat harus siap memberikan kesempatan kedua bagi
mereka yang ingin memulai hidup baru ketika mereka sudah berubah
ideologi.

*) Noor Huda Ismail, peneliti terorisme,
kandidat PhD Politik dan Hubungan Internasional Monash University
Australia dan Pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian

(detik)

Posts: 1

Participants: 1

Read full topic



Source - Sebaran Ideologi Kekerasan